Jumat, 28 Februari 2020

SEJARAH MUSIK SULING BAMBU DI TIMOR



Oleh:  Ir. Beny. Ulu Meak, M.Si



Sejarah tentang suling bambu sudah sedemikan lama dan erat kaitannya dengan peradaban manusia. Menurut penutur adat di wilayah As Manulea, Kabupaten Malaka, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) bahwa masuknya alat musik suling bambu di daerah Timor dibawa oleh para pedagang dari India yang berlayar ke Indonesia melewati selat Malaka, Batavia dan kemudian ke Ambon. Dari Ambon menuju pulau bunga (Sekarang Pulau Flores) dan berlabuh di pelabuhan tradisional Namon Sukaer (sekarang Atapupu) sekitar abad 16 (Dini, 2019). Hal ini dipertegas oleh Utomo (2017) bahwa pulau Timor pada abad ke-16 terkenal sebagai satu-satunya sumber cendana terbaik di dunia sehingga mendorong bangsa lain untuk datang berdagang cendana.
Menurut  Asa (2014) bahwa musik suling bambu di tanah Timor berasal dari daerah Minahasa dan Maluku yang pada mulanya muncul dan berkembang di daerah As Manulea Kabupaten Malaka, Provinsi NTT. Jika dilihat dari alat musiknya, suling bambu ini hanya digunakan untuk menemani diri dalam mengembala binatang ternak dengan bentuk dan struktur alat musik yang sangat sederhana. Seiring dengan perkembangan pendidikan yang ada di As Manulea kesenian yang awalnya berfungsi sebagai media pelengkap dalam mengisi kesendirian kemudian beralih sebagai seni pertunjukan.
Musik suling bambu As Manulea, Malaka, NTT mulai dikenal sejak tahun 1953 yang berawal hanya untuk bermain secara individu sampai bermain bersama dan ditonton oleh masyarakat luas sampai sekarang. Perkembangan musik suling bambu ini banyak dimainkan oleh masyarakat hingga kini karena alat musik ini gampang dibuat  dari bahan baku utama bambu yang mudah didapat, dan  relatif mudah untuk memainkannya  sehingga dapat  terjangkau untuk semua kalangan.
Suling bambu yang tengah berkembang di pulau Timor khususnya di wilayah dawan As Manlea dan Bani-Bani, Kabupaten Malaka  dan wialayah Lamaknen, Kabupaten Belu begitu pesat karena  awalnya dikembangkan oleh para guru sekolah dasar dan sekolah menengah pertama yang membimbing anak-anak untuk mengakrabi suling bamboo lewat kegiatan ekstrakurikuler di sekolahnya masing-masing. Sebut saja SDK Tunuahu dikala itu dibawah bimbingan Bapak Emanuel Un Bria, SDK Sasonet, SDK Maerah, SDK Bikane dan kini SDN As Manulea dan SPN 1 Lamaknen.
Di Timor dan khususnya Wilayah Belu, Suling bambu banyak dimainkan untuk mengiringi musik-musik tradisional. Suling Bambu menjadi terkenal dengan bentuk permaianan ansambel adalah miliknya orang dawan- Malaka. Bahkan suling bambu kian diminati berbagai kalangan dan setiap suguhan ansambel musik suling bambu selalu memukau pendengar. Hal ini dikarenakan bahwa musik  suling bamboo yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan komunitas tertentu sebagai “Folk Music” atau musik masyarakat yang merupakan kebiasaan turun temurun sekelompok masyarakat berdasarkan nilai budaya masyarakat yang bersangkutan.
Perkembangan fungsi alat musik suling ini untuk menyambut tamu atau untuk memeriahkan hari-hari nasional maupun acara keagamaan.




Daftar Bacaan

Asa, E. Abanit, 2014. Kontiunitas dan Perubahan Musik Suling Bambu di As Manlea, Malaka, Nusa Tenggara Timur, Yogyakarta: Skripsi, Jurusan Musik Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia.

Dini, Yakobus, M, 2019. Suling Bambu dalam Sebuah Misteri Leluhur Timor. Artikel dalam https://www.kompasiana.com. Diakses pada tanggal 3 Januari 2020.

Utomo, Y. Wiji, 2017. Timor sebagai Nusa Cendana: Kronik Cina sampai Penjelajahan Eropa, Artikel dalam https://sains.kompas.com, diakses pada tanggal 20 Februari 2020.
 

Senin, 16 Desember 2019

SINERGITAS TIGA PILAR PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH

Oleh

Ir. Beny. Ulu Meak, M.Si


Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, pada Pasal 1, Ayat 1 menegaskan bahwa perencanaan  adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat melalui urutan pilihan dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia. Selanjutnya dipertegas lagi dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tatacara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah, khususnya pada Pasal 2, ayat 2 bahwa perencanaan pembangunan daerah dilaksanakan pemerintah daerah bersama para pemangku kepentingan berdasarkan peran dan kewenangan masing-masing. Oleh karena itu, proses perencanaan pembangunan daerah perlu dilakukan melalui sebuah model kerjasama yang melibatkan pemerintah, masyarakat dan pihak swasta sebagai pilar perencanaan pembangunan daerah untuk perumusan tindakan di masa depan secara efektif, efisien dan transparan.  Kemudian pada Pasal 262, Ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dinyatakan bahwa rencana pembangunan daerah dirumuskan secara transparan, responsif, efisien, efektif, akuntabel, partisipatif, terukur, berkeadilan, dan berwawasan lingkungan. Menyikapi hal ini, maka  peran Pemerintah, masyarakat dan sektor swasta sangat dibutuhkan dalam implementasi proses perencanaan pembangunan daerah, sehingga hasil perencanaan akan lebih berdaya guna dan dapat mengatasi berbagai permasalahan pembangunan yang mendasar dengan mengidentifikasi berbagai kebutuhan pembangunan (isu strategis) sebagai suatu komitmen bersama dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Selanjutnya pada Pasal 54, Undang-Undang Nomor 6 tentang Desa mengarahkan bahwa salah satu hal yang bersifat strategis adalah proses perencanaan desa dilakukan dengan musyawarah desa yang diikuti oleh seluruh komponen desa termasuk masyarakat desa. Hal ini mengandung makna bahwa  keterlibatan masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan dapat memberikan arti bahwa masyarakat pada umumnya bukan sebagai obyek tetapi sekaligus bertindak sebagai subyek pembangunan sehingga nuansa yang dikembangkan dalam proses perencanaan daerah adalah benar-benar bersifat dari bawah (bottom up).
Sinergitas merupakan hasil menciptakan suasana lingkungan dimana orang- orang yang berbeda dapat saling memberi sumbangannya berdasarkan kekuatan masing-masing sehingga hasilnya lebih besar dibandingkan jika dikerjakan sendiri-sendiri.
 Dalam konteks perencanaan peran pilar Pemerintah adalah memperkuat akuntabilitas dan transparansi publik dengan perumusan program/kegiatan dan pagu indikatif lewat forum pemangku kepentingan atau forum Organisasi Perangkat Daerah (OPD) dan Musrenbang Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) tingkat Kabupaten dengan menggunakan Kamus Usulan beserta Analisis Standar Belanja dan Indikator Kinerja untuk penajamannya. Hal mana bahawa dilakukan dengan keterbukaan informasi public artinya seluruh program/kegiatan dan sumber pendanaan ataupun besarnya alokasi anggaran disampaikan secara terbuka kepada masyarakat. Selanjutnya pemerintah dapat melakukan pendampingan dan advokasi untuk memperkuat kapasitas masyarakat secara mandiri dalam perumusan program/kegiatan melalui Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa (Musrenbangdes) yang dituangkan dalam model perencanaan pembangunan daerah melalui aplikasi berbasis IT (e-planning). Peran pilar masyarakat adalah memperkuat kapasitas sumberdaya masyarakat :dengan mendorong tingkat partisipasi masyarakat melalui Musrenbangdes, bersama unsur DPRD untuk memastikan bahwa hasil identifikasi masalah dan kebutuhan yang terakomodir dalam proses perencanaan di desa sudah merepresentatifkan kebutuhan masyarakat pada umumnya. Sedangkan peran pilar swasta  adalah memperkuat kapasitas sektor swasta dengan memastikan bahwa  proses interaktif sosial bersama masyarakat, pemerintah dan pihak swasta lewat forum Musrenbang RKPD di tingkat Kecamatan maupun tingkat Kabupaten untuk memperhatikan permasalahan dan kebutuhan masyarakat agar dapat ditentukan program CSR (Corporate Social Responsibility) secara lebih bijaksana. Hal ini setidaknya dalam konsep sinergitas perencanaan ini jika kita hubungkan dengan proses investasi daerah maka pihak swasta/investor tentunya berkepentingan agar dana yang dinvestasikannya menghasilkan profit yang memadai, ingin mendapatkan berbagai kemudahan dan adanya jaminan keamanan dalam berinvestasi. Pihak pemerintah daerah ingin agar Pendapatan Asli Daerah (PAD) meningkat. Masyarakat berharap kesejahteraannya makin meningkat dan lapangan kerja makin terbuka.
Simpulannya adalah bahwa keberhasitan perencanaan pembangunan daerah dipengaruhi oleh kualitas sinergi atau kejasama kreatif antara pemerintah, swasta dan masyarakat. Perpaduan peran dan fungsi pemangku kepentingan dimaksud, menjadi moda1 dasar untuk terwujudnya sinergi, dimana pemerintah memantapkan peran fungsinya sebagai perencana dengan memadukan kemampuan teknis perencanaan, swasta memantapkan perannya dalam memberikan kajian profesiona1 tentang situasi dunia usaha dan pasar, sementara masyarakat memberikan informasi yang nyata atas kondisi riil yang berkembang di masyarakat serta berperanan dalam mangawasi jalannya pe1aksanaan pembangunan, untuk se1anjutnya digunakan sebagai bahan dalam mengevaluasi pembangunan. *)
 
*). Tulisan ini telah dimuat juga di Buletin Citra Anak Belu, Edisi XI, Tahun III Juli-September 2019  

Rabu, 25 September 2019

IKLIM TROPIK SEMI- RINGKAI (SEMI-ARID) DAN DAMPAK POTENSI BENCANA DI NUSA TENGGARA TIMUR


Oleh:
Ir.Beny. Ulu Meak, M.Si

I.         PENDAHULUAN
Secara umum, iklim wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT) termasuk ke dalam kategori iklim semi-arid, dengan periode hujan yang hanya berlangsung 3-4 bulan dan periode kering 8-9 bulan. Kondisi iklim demikian mendeterminasi pola pertanian tradisional NTT yang hanya mengusahakan tanaman semusim dan ditanam dalam periode musim hujan.
Dalam konteks iklim, kata arid digunakan untuk menyatakan keadaan yang merujuk kepada suatu kontinum nisbah (ratio) rerata presipitasi tahunan (meliputi curah hujan, embun, dan salju) terhadap evapotranspirasi potensial tahunan (meliputi penguapan dari badan perairan terbuka dan penguapan dari mahluk hidup). Kata bahasa Indonesia yang digunakan secara teknis sebagai padanan kata arid adalah ringkai sehingga semi-arid menjadi semi-ringkai (Mudita, 2010).


II.      CUACA DAN IKLIM YANG BERPENGARUH
Pada dasarnya cuaca dan iklim merupakan faktor keselamatan, penunjang dan pembatas sumberdaya alam dan lingkungan telah memberikan pandangan kepada manusia untuk melakukan berbagai aktivitas di berbagai bidang kegiatan seperti bidang pertanian, infrastruktur dan bangunan maupun pola hidup atau budaya masyarakat yang saling berbeda. Secara eko-klimat sebagian besar wilayah NTT memiliki karakteristik sebagai daerah dengan kategori iklim semi-ringkai (semi- arid) dengan rata-rata curah hujan tahunan berkisar 1500-3000 mm per tahun dan terjadi dalam waktu yang singkat (3-4 bulan) dan fenomena ini menggambarkan bahwa sistim pertanian di NTT lebih didominasi oleh pola pertanian lahan kering Mudita (1999) dalam (Mau, 2008).
Menurut  Soerjani dkk,(1987) bahwa cuaca adalah keadaan udara dan gejala-gejala yang ada di dalamnya pada suatu saat tertentu. Sedangkan iklim adalah ciri atau sifat yang dimiliki oleh suatu udara di suatu tempat atau wilayah berdasarkan nilai rata-rata dari unsur cuaca yang terjadi selama kurun waktu yang panjang. Unsur-unsur cuaca di suatu tempat dapat berupa suhu (T), tekanan (P), angin (W), kelembaban (H), awan (c), hujan (R), dan kabut (V).
Cuaca dan iklim di NTT tidak terlepas dari pengelolaan berbagai jenis sumberdaya alam maupun produksi pangan, sehingga konsekuensinya jika terjadi perubahan cuaca maka iklim juga berfluktuasi akibatnya produksi pangan juga selalu berfluktuasi bahkan ketika terjadi bencana kekeringan maka dapat terjadi krisis pangan seperti terjadi pada tahun 2008. Kekhawatiran akan dampak perubahan suhu (unsur cuaca) pada dasawarsa terakhir ini telah melahirkan isu menarik tentang adanya pemanasan global (global warming) sebagai indikasi manusia ikut bertindak sebagai faktor pengubah iklim karena pemanasan global disinyalir disebabkan oleh  Gas Efek Rumah Kaca (GERK), penebangan dan pembakaran hutan dan penggunaan bahan bakar fosil (bbf) yang berlebihan. Hal ini jika ditelaah dari aspek klimatologis dikatakan bahwa NTT sangat rentan terhadap kekeringan dan ketersediaan pangan yang dijelaskan oleh Arjana, (2010) bahwa beberapa faktor geografis yang menyebabkan fenomena kekeringan di NTT adalah : (1). Letak astronomis NTT yang berada pada 80 – 120 LS dan  1180 – 1250 BT  dimana berada di luar zona doldrums atau palung equatorial yang berdampak pada kekurangan curah hujan; (2).Letak geografis NTT yang berada pada bagian tenggara, berimplikasi kurangnya curah hujan karena angin musim membawa hujan dari arah barat dan makin ke timur menyebabkan kandungan uap air makin rendah; (3). Faktor topografis, dengan ketinggian tempat dan kondisi pegunungan yang berada pada ± 2000 meter dpl yang bertumbukan dengan awan cumulus dan awan cummulonimbus  dapat mengakselerasi presipitasi, sehingga kawasan pulau Flores lebih basa dari pulau Timor; (4). Faktor lahan dengan kondisi tanah yang bersifat menyerap air yang tinggi (poroseus) karena tanah didominasi oleh struktur tanah berbatuan gamping; (5). Faktor vegetasi, karena penutupan vegetasi yang kurang maka tidak dapat mempertahankan tingkat kelembaban; (6). Pengaruh perubahan iklim global karena naiknya suhu akibat gas efek rumah kaca, pembukaan lahan dan penggunaan bahan bakar fosil (bbf) yang berlebihan; (7).Pengaruh iklim regional, karena letaknya dekat dengan kawasan pasifik yang selalu menyebabkan fenomena el nino ; dan (8). Faktor penduduk, dengan praktek ladang berpindah dan tidak ramah lingkungan. 
       
III.             DAMPAK POTENSI BENCANA
Dampak dari kondisi cuaca dan iklim semi rinkai (semi-arid) di NTT dengan fenomena pemanasan global akan memberikan potensi bencana yang akan terjadi antara lain : kekeringan, banjir/tanah longsor. populasi hama pertanian, gagal tanam dan gagal panen yang akan bermuara pada tingkat ketersediaan pangan yang semakin berfluktuasi karena produksi pertanian akan cenderung menurun jika tidak dikelola secara baik dan terfokus. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Murdiyanto (2000) dan FAO  (2006) dalam (Mau,2008) bahwa secara umum dampak perubahan iklim akibat pemanasan global di beberapa wilayah regional akan mengalami penurunan produksi pertanian yang signifikan bahkan kekurangan pangan dan kelaparan, tetapi produksi di suatu wilayah akan di isi oleh peningkatan produksi di wilayah lain. 
            Lebih lanjut Mau (2008) menjelaskan bahwa dampak potensi bencana dengan posisi NTT yang berada pada daerah semi -arid sebagaimana daerah-daerah lain yang di sekitar katulistiwa sebagai akibat dampak pemanasan global adalah : (1). Kekeringan baik dari aspek perluasan wilayah dan lamanya kekeringan; (2). Meningkatnya curah hujan dari perubahan cuaca dalam waktu yang singkat yang menyebabkan daerah ini rentan terhadap banjir/tanah longsor dan erosi; (3). Meningkatnya curah hujan dan kekeringan dalam waktu singkat akan menyebabkan produktivitas pertanian menurun; (4). Fluktuasi cuaca dan iklim akan menyebabkan pergeseran musim tanam dan waktu tanam yang tidak menentu dan pada gilirannya timbul gagal tanam dan gagal panen; dan (5). Perubahan suhu yang tinggi pada kisaran tertentu akan mempersingkat siklus hidup hama dan konsekuensinya akan timbul peningkatan populasi hama dalam waktu singkat, contoh : kasus hama belalang kumbara di TTU pada tahun 2008 dan di Sumba Barat. pada tahun 2006.
 

IV.RESPONS MASYARAKAT DENGAN POLA PELADANG
Menurut Naylor,dkk (2006) dalam (Diposaptono,2009) mengatakan bahwa perubahan iklim menyebabkan perubahan pola curah hujan. Perubahan itu ditandai dengan terlambatnya awal musim hujan, sedangkan akhir  musim hujan terjadi lebih cepat. Disisi lain walaupun musim hujan itu berlangsung lebih singkat namun memiliki intensitas curah hujan yang lebih tinggi dan dengan semakin pendeknya periode musim hujan maka periode musim kemarau bertambah lebih panjang. Hal ini terjadi terutama di daerah yang terletak di bagian selatan katulistiwa  seperti NTT. Faktanya bahwa  dalam tahun 2010 (pada bulan Maret – Oktober) sebenarnya wilayah NTT berada pada musim kemarau, tetapi berubah menjadi pendek dan hujan turun lebih awal sebagai akibat dari fenomena la nina yang dipicu oleh pengaruh perbedaan tekanan udara yang ada di daerah asia pasifik (pusat tekanan udara tinggi) yang bergerak menuju pusat tekanan udara rendah di wilayah Australia sehingga menyebabkan NTT memasuki musim hujan lebih cepat. Namun karena perubahan iklim ini tidak disadari oleh masyarakat akibat kurangnya sosialisasi dari pemerintah disamping karena tidak adanya pemahaman yang baik oleh masyarakat tentang fenomena la nina ini  maka respon kegiatan bertani dengan pola perladangan berpindah tidak sempat dilaksanakan oleh para petani  di NTT (kasus wilayah Timor Barat).
Pola bertani masyarakat di NTT dilakukan secara tradisional dengan sistim perladangan berotasi yang sering disebut juga sebagai perladangan berpindah (Swilddening) atau peladang tebas-bakar (Slash and burning farmer) dengan memanfaatkan kesuburan tanah hutan dan potensi lingkungan hutan/belukar yang relatif luas untuk kelangsungan hidupnya dengan waktu rotasi berladang/berkebun 3 – 5 tahun untuk kembali pada lokasi kebun yang pertama sedangkan tenggang waktu tersebut kebun yang lainnya dibiarkan bera begitu saja. Kegiatan tebas –bakar dilakukan dengan menebang hutan/belukar dan membakarnya secara teratur atau bisanya disebut ” Kono ” (istilah lokal di Kabupaten TTU). Kegiatan ini dinilai oleh masyarakat sebagai teknologi sederhana dan murah karena memberikan hasil tanaman yang cukup baik selama 1-2 kali masa tanam pada lahan yang sama sedangkan berikutnya mereka sudah melakukan rotasi pada kawasan lahan lain. Hal ini kalau dibiarkan terus akan memberikan ancaman terhadap kelesetarian SDA dan lingkungan hidup (Woha, 2001). Oleh karena itu maka respons petani di NTT harus di siasati untuk dapat beradaptasi dengan perubahan cuaca dan iklim dengan mengembangkan berbagai teknologi yang dapat meningkatkan produksi pertanian lahan kering.
Mencermati hal ini maka dianjurkan rekomendasi strategi adaptasi perubahan iklim dalam menghadapi dampak ancaman perubahan iklim (kekeringan) di NTT untuk waktu ke depan didasari atas dua skenario iklim yaitu curah hujan yang masih cukup sampai akhir April dan keadaan segera berakhirnya musim hujan pada awal April yaitu : Pertama : Tekologi anjuran pada keadaan curah hujan yang masih cukup sampai akhir April dimungkinkan untuk masih bisa menanam tanaman berumur pendek seperti jenis kacang-kacangan dan sebaiknya jenis kacang hijau dengan pemberian mulsa. Orientasi dari penerapan teknologi pada skenario pertama adalah produksi pangan untuk kebutuhan keluarga; dan Kedua : Tekologi anjuran pada keadaan segera berakhirnya musim hujan (awal April)  lebih ditekankan pada teknologi untuk menciptakan nilai tambah, dan sebaiknya tidak diarahkan untuk penanaman. Alasan utama tidak menanam adalah karena tidak tersedianya lengas tanah yang memadai untuk jangka waktu satu musim produksi. Selain itu, penekanan pada peningkatan nilai tambah karena petani-petani juga memliki tanaman-tanaman keras yang sudah berproduksi dan tidak banyak berpengaruh pada akibat gangguan curah hujan. Tanaman-tanaman keras yang umum dimiliki oleh petani  dan berada pada masa produksi untuk jangka waktu ini antara lain, kelapa, pisang, kemiri dan mente yang nantinya dapat diolah menjadi produk yang bernilai ekonomis. Selain itu, meningkatkan mutu pemeliharaan ternak seperti ayam buras (untuk produksi daging dan telur), kambing, babi dan sapi.yang lebih beroerientasi pada pendapatan (uang cash).


DAFTAR PUSTAKA
Ardhian,D.,2010., Pertanian Ekologis : Jalan Mengatasi Krisis Pangan dan Tantangan Perubahan Iklim, Opini dalam http://www.krkp.org/pertanian-berkelanjutan, diskses tanggal 4 Februari 2011.
Arjana, I G.B, 2010., Kekeringan dan Kekurangan,Artikel dalam Pos Kupang,Kamis tanggal 2 September 2010, Halaman 4.
Diposaptono,S; Budiman dan Agung.F., 2009., Menyiaasati Perubahan Iklim di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil,Buku Ilmiah Populer,Bogor.
Mau,Y.S, 2008., Dampak Pemanasan Global Terhadap Ketersediaan Pangan Dunia, Konteks Nusa Tenggara Timur, Orasi Ilmiah disampaikan pada acara Wisuda Magister, Sarjana dan Ahli Periode Mei 2008, Universitas Nusa Cendana, Kupang.
Soerjani,M, Ahmad.R,dan Munir,R, 1987., Lingkungan Sumberdaya Alam dan Kependudukan dalam Pembangunan,Universitas Indonesia Press,Jakarta.
Subandryo,T, 2011., Mewaspadai Krisis Pangan, Opini dalam http://cetak.kompas.com/read/2011/01/17/04242112/mewaspadai.krisis.pangan, diakses tanggal 4 Februari 2011.
Woha. U. P.2001., Pembangunan Pertanian Lahan Kering di Nusa Tenggara Timur. Dalam Pembangunan Pertanian di wilayah Kering Indonesia, Widya Sari, Salatiga.

SEJARAH MUSIK SULING BAMBU DI TIMOR

Oleh:   Ir. Beny. Ulu Meak, M.Si Sejarah tentang suling bambu sudah sedemikan lama dan erat kaitannya dengan peradaban manus...